Adrie Subono, Bapak Per-“EO”an Indonesia

andrie subonoMenjadi panitia alias event organizer dari acara musik. Begitulah Adrie Subono menggambarkan secara singkat bentuk pekerjaan yang ditekuninya sejak 1994. Namun di balik kesederhanaan itu, ada banyak hal yang mesti dia lakukan. Bisnis mewawancarai penggemar warna hitam ini untuk bercerita seluk beluk bisnisnya sebagai promotor musik.

Berikut petikannya :
Bagaimana awalnya masuk di bisnis sebagai promotor musik?
Saya akan ceritakan dari hulu ke hilir karena saya sudah 17 tahun di (bisnis) ini. Dari semula orang tidak tahu namanya promotor sampai sekarang orang-orang berbondong-bondong masuk ke sini (bisnis promotor), tapi sebenarnya mereka tidak tahu apa artinya promotor.
Ini kan bisnis yang sebenarnya antara ada dan tidak ada. Dari mana asalnya usaha ini, kita juga banyak diskusi dengan semua pihak, intinya untuk keamanan dan kenyamanan penonton (musik).
Bisa diceritakan, apa yang Anda lakukan dari nol hingga pencapaian sekarang ini?
Sebelumnya saya bekerja sebagai orang yang menjual kapal, lalu bisnis komunikasi, properti, selama hampir 20 tahun. Pada 1994 ada satu bisnis yang bukan main-main dan belum ditekuni orang. Nah ini bisnis yang prospeknya bagus ke depannya.
Saya sering traveling ke luar negeri. Saya lihat konser- konser di sana semarak, di sini malah tidak ada. Saya orangnya dari dulu suka menerobos kesulitan.
Jadi di sini tuh enggak ada panitia. Seminar saja butuh panitia, orang kawin butuh panitia, intinya panitia. Nah kerennya [pekerjaan itu] disebut promotor. Itu sama juga disebut panitia, padahal sama saja. Konser itu butuh panitia, yang menyewa gedung, membuat konsep, kursi dan lain-lain. Tidak mungkin jika band memikirkan hal itu. Band ya mikirnya manggung. Habis itu ada ada tugas lain yakni marketing. Nah ada juga panitia, yang memikirkan hal-hal penting.
Begitu juga orang kawin, perlu panitia. Makanya banyak sekarang orang membentuk wedding organizer, itu bagus sekali.
Saya beberapa bulan lalu mengadakan acara kawinan anak saya. Saya pikir kawinan itu susah banget, ternyata enggak. Bayangin saja, jam 14.00 WIB saya masih bisa tidur siang padahal acara kawinan jam 17.00 WIB. Itu karena saya pesan wedding organizer, event organizer, intinya sama seperti promotor juga.
Kerjaan wedding organizer kan setiap hari memang ngurusin kawinan. Jadi orang yang sudah hafal semua kegiatannya, dari acara ceplok telur sampai selesai. Ini yang menjadi pemikiran saya menjadi promotor. Artis tidak datang ke Indonesia karena di sini enggak ada panitia yang mengurusinya. Band atau artis datang ke sini, kan tidak tahu nyewa gedungnya ke mana, ini itu ke mana.
Bagaimana bisnis ini dijalankan?
Ini bisnis yang enggak ada matinya, beda dengan menjual kapal. Kalau promotor itu, bisnis bekerja profesional. Jadi Java Musikindo berdiri pada 1994 langsung saya buat sebagai perseroan terbatas (PT). Ini pekerjaan panitia yang tidak ada habisnya, dan akan berkembang terus. Dulu ada teman saya bilang, “Gila loe, nekat. Enggak mementingkan kemiskinan dan lain-lain.” Padahal mereka tidak tahu kalau biaya untuk membuat event promotor itu jauh lebih murah dibandingkan dengan membuat sebuah showroom mobil. Kalau showroom minimal harus menyediakan 10 mobil belum lagi nyewa gedung 1 tahun, 2 tahun. Harus mempekerjakan orang di situ, ngawasin, dan sebagainya.
Beda dengan kita [promotor], cuma nyewa gedung 1-2 hari saja, dan kita menjual pada saat yang lagi hits. Jadi marketnya yang menentukan hits itu sendiri. Makanya, lebih murah jadi promotor.
Promotor yang kerjanya kayak gini cuma ada di Indonesia. Di luar negeri, jujur saja, memang beda.
Saat proyek promotor pertama sukses atau tidak? Bisa di ceritakan?
Dulu proyek pertama malah hancur. Dulu kami mendatangkan Saigon Kick. Pada waktu itu saya learning by doing, kegagalan itu bukan kegagalan yang merugikan tapi learning period. Saya yakini ini bisnis tidak ada matinya. Artis pasti akan manggung, ini tidak ada matinya.
Dulu pada 1994, artis meraih 30% pendapatan dari penjualan CD/kaset dan sisanya dari panggung. Sekarang apa coba, dari mana pemasukannya? Perusahaan rekaman dan penjual kaset sekarang tutup, penjual CD terbesar di Amerika juga tutup. Sekarang apa yang harus dilakukan artis? Ya pemasukannya dari panggung ke panggung. Jadi kegagalan datang dari penerapan konsep di tempat yang salah saat konser Saigon Kick. Tempatnya dulu di Jakarta Convention Center (JCC). Apalagi orang dulu bingung, saya datangkan musik yang alirannya rock gitu. Salah juga kan, karena rock kan enggak laku. Sponsor juga enggak ada. Jadi pembelajaran itu yang saya ambil. Menjadi promotor ini bisnis kepercayaan. Coba kalau artis dari luar negeri dijemput dari bandara kalau dicemplungin ke kali. Dia juga tidak tahu. Jadi ini soal kepercayaan.
Kebanyakan inisiatif dari artis atau dari promotor?
Ya promotor juga, ini kan produk. Seperti beli Mercy, siapa yang jadi pasarnya. Begitu juga dengan musik, siapa yang akan menjadi fans musik ini. Musik rock harus ditempatkan pada tempat yang besar.
Dulu saat sekolah sering ikut kepanitiaan?
Bisa tidak kalau kita jangan membahas sekolah? Saya tidak ada bakat di kepanitiaan, kalau bakat bisnis sudah dari dulu. Saya dulu pernah jual koran di kawasan Megaria. Ayah saya seorang tentara. Sebenarnya saya tidak harus jualan koran. Tetapi saya ingin bisnis jualan koran.
Waktu sekolah di Jerman selama 8 tahun saya sering membawa barang dagangan berupa pakaian. Dulu tidak ada barang yang praktis seperti sekarang, mal juga belum ada, tas plastik belum banyak. Jadi dulu cuma ada butik 1 atau 2. Dulu saya dikirim sekolah ke Jerman dengan maksud supaya saya ketularan menjadi profesor seperti paman saya [B.J. Habibie]. Kan sama sekarang sama-sama awalan “p” dan akhiran “or”, paman saya jadi profesor dan saya sekarang jadi promotor.
Apa tantangan terberat yang pernah dijalani dalam pekerjaan?
Penonton sekarang sudah mengerti konsep keamanan dalam menonton konser. Kalau konser jam 20.00 WIB, penonton sudah mulai stand by jam 14.00 WIB siang, alhasil kalau pintu dibuka jam 18.00 WIB pada datang semua, nah yang pingsan bisa sampai 25 orang.
Jadi kami menjaga agar segala sesuatunya aman. Menyiapkan pintu-pintu, mengatur kerapatan penonton, menyiapkan paramedik, dan sebagainya.
Kompetisi dalam bisnis promotor terjadi sejak kapan?
Saya enggak mau berbicara tentang kompetisi, karena marketnya di sini sangat luas. Kita lihat saja Singapura, bisa 4-5 kali konser kalau di luar yang lain bisa 10 kali konser. Di luar Jakarta masih ada Bali, Surabaya, dan tempat lain lagi.
Siapa yang mengenalkan Anda pada bisnis sebagai promotor?
Awalnya saya diceburin sama kawan saya, ada tiga orang. Malik [Syafei], Imran [Amir] dan Riny Noor dari Prambors. Dulu saya sempat siaran juga di Prambors untuk nama acara untuk musik blues. Tetapi untuk selanjutnya hanya saya yang benar-benar aktif di Java Musikindo.
Sampai saat ini sampai menolak-nolak tawaran konser? Kita harus bisa menyesuaikan sajalah, ini bisnis show. Amerika sekarang saja ekonomi sedang bermasalah kan? Sekarang kalau artis itu 90% pendapatannya berasal dari show. Jadi marketnya masih luas. Kita enggak bisa memantau berapa slot pertunjukannya, tergantung kondisi negara, kondusif atau tidak. Mariah Carey saya jual saat krisis di Indonesia nyatanya ludes.
Sebenarnya apa harapan orang tua?
Dulu ayah saya tentara, maka saya juga ingin jadi tentara, sampai saya buat mainan senjata dari triplek. Tapi itu gak bisa. Karena orang tua mengharapkan saya berhasil, makanya saya dikirim ke paman saya ke luar negeri. Anak saya semua jadi sarjana. Paling besar 35 tahun, paling kecil 29 tahun dan semua sudah sarjana. Komando ada di satu orang yaitu ayah.
Saya dan istri juga beda keyakinan, tapi anak-anak bisa memilih mana agama yang mereka yakini. Saya Islam dan istri saya Protestan.
Apakah anak-anak juga dilibatkan dalam bisnis ini?
Ya, saya libatkan. Artinya mereka bekerja disini. Dari pukul 09.00 WIB sampai 17.00 WIB, ya mereka juga digaji di sini. Bekerja secara profesional. Anda pikir saya tidak menghukum mereka? Saya pernah menghukum mereka. Mereka juga mencicil mobil dari gaji mereka. Pekerjaan mereka juga bagus. Mereka harus tahu bagaimana harus memanage artis, mengelola artis. Jangan mentang-mentang anak saya kerja mereka tidak benar. Apakah pekerjaan ini akan diwariskan? Gini, jangan kira bisnis ini bisa dijalankan jika bapaknya bisa anaknya harus bisa. Jangan berpikir seperti itu, apalagi nanti kalau melakukan kesalahan. Saya ini marketing sendiri dari usaha saya ini. Kalau anak saya tidak bisa, kenapa saya tidak menyewa professional manager untuk mengelola bisnis ini? Gitu lho.
Dari ketiga anak, adakah yang mampu mewarisi?
Yang paling tidak mampu dari anak-anak saya ini adalah cara ngomongnya seperti saya ini. Jangan lupa [cara bicara] ini marketing banget. Saya sering ngomong di mana-mana.
Anda banyak memanfaatkan Twitter sebagai sosialisasi atau promosi?
Saya punya follower di Twitter sampai 400.000-an. Mention kadang sampai 4.000-an dalam 1 hari. Saya memang berkomunikasi lewat Twitter. Contohnya saya tweet bahwa saya sakit perut, nah banyak yang kasih komentar atau mention.
Kalau sedang ada acara saya juga kasih foto di Twitter. Misalnya artis ini sudah datang, anak buah saya yang memfoto di bandara lalu saya tweet ke Twitter saya. Jadi mereka [follower] kira saya yang datang ke sana. Padahal saya tidak datang, cuma tidur saja. Jadi ini adalah strategi marketing. Coba kalau saya iklan saya di koran, berapa harganya. Anak sekolah sekarang bisa mainin HP yang mu rah cuma Rp500.000 sudah ada fasilitas Twitter, mereka mainin di dalam kelas kan bisa baca dari tweet gua. Bayi ajaib banget itu Twitter.
Jadi di sini tuh enggak ada panitia. Seminar saja butuh panitia, orang kawin butuh panitia, intinya panitia. Nah kerennya [pekerjaan itu] disebut promotor. Itu sama juga disebut panitia, padahal sama saja. Konser itu butuh panitia, yang menyewa gedung, membuat konsep, kursi dan lain-lain. Tidak mungkin jika band memikirkan hal itu. Band ya mikirnya manggung. Habis itu ada ada tugas lain yakni marketing. Nah ada juga panitia, yang memikirkan hal-hal penting.
sumber : http://www.bisnis.com/opini/14551-adrie-subono-promotor-itu-sama-dengan-panitia

Artikel ini berjudul Adrie Subono, Bapak Per-“EO”an Indonesia, dengan url http://rofikdawami.blogspot.com/2011/05/adrie-subono-bapak-per-eoan-indonesia.html
Klik di sini untuk melihat daftar isi blog ini.

Baca Juga Artikel Yang Ini

{ 8 komentar... Baca Semua / Tulis Komentar ! }

TemplateGator mengatakan...

Nice posts and good blog. I like it.. I'll bookmark this blog on my browser now.

Anonim mengatakan...

Makasih infonya, ditunggu kunjungan balik dan komentarnya di My Blog, Makasih sob

Unknown mengatakan...

Wah.. inspiratif sekali.. mksh untuk informasinya...

Rubah bulan mengatakan...

Kan tadi sudah di bilang, di larang mengiklan

Namaku kadavi mengatakan...

Makasih infonya gan

Rubah bulan mengatakan...

@Nisa Laurent kan tadi sudah di bilang, dilarang mengiklan

Teu Dipikannyaoh mengatakan...

lelucon terlucu yang pernah ada

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

Informasi yang tersedia di ini dikumpulkan dari berbagai sumber, anda bebas untuk berkomentar, mengkritik, kasih saran ataupun Nyepam.. tapi yang SOPAN ya....
Terimakasih.


Warning: Komentar yang mengandung Sara, Pornografi dan Berbau Iklan "Halal" untuk saya hapus